Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyesalkan sikap ngotot pemerintah

Pengamat Perminyakan, Kurtubi, menyesalkan sikap ngotot pemerintah untuk tetap memberlakukan pembatasan Premium April mendatang. Menurutnya, di tengah kenaikan harga Pertamax, kebijakan itu dinilainya sama dengan menyerahkan harga BBM pada pasar.

“Sekarang, kalau pemerintah melarang masyarakat membeli Premium dan beralih ke Pertamax, itu berarti memaksa masyarakat membeli harga pasar,” kata Kurtubi di sela Workshop Investigasi Isu Korupsi dan Industri Ekstraktif yang diselenggarakan Transparency Internasional Indonesia, Sabtu 22 Januari 2011

Alasannya, kata Kurtubi, rakyat tidak mendapat subsidi sama sekali di harga Pertamax itu. “Ini sama juga melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.

Kurtubi mengatakan, MK menyebutkan bahwa penerapan harga pasar adalah bertentangan dengan konstitusi. “Berarti kalau pemerintah memaksakan membeli Pertamax, sama saja pemerintah melanggar konstitusi. Ini bisa memicu impeachment,” ucapnya.

Kurtubi menilai, saat ini tidak ada gejolak dari masyarakat menanggapi rencana itu karena masyarakat belum paham pokok masalahnya. Menurutnya, saat ini rakyat percaya pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Namun, begitu menyadari harus membeli Pertamax yang pada April 2011 diprediksi harganya akan mencapai Rp9.500, gejolak tak terelakkan.

“Saat ini rakyat belum mengerti, begitu mereka mengerti diwajibkan membeli yang Rp9.500 akan timbul gejolak,” kata Kurtubi. “Begitu mengerti, di suruh demo, mereka akan demo besar-besaran,” ucapnya.

Kurtubi juga menilai, kebijakan pemerintah itu tidak tepat. Sebab, berpotensi langkah itu dapat memandekkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi daya beli masyarakat.

Selain itu, Kurtubi juga mengungkapkan sulit untuk tidak menduga ada kepentingan asing dibalik kebijakan tersebut. Menurutnya, minyak adalah bisnis jangka panjang. Nah, dalam kebijakan itu rakyat diwajibkan harus membeli Pertamax langsung.

“SPBU asing akan mendapat luapan jumlah pelanggan yang luar biasa. Mereka bisa langsung membesar dan buka pom bensin di banyak wilayah di Indonesia, di mana keuntungannya dibawa ke luar negeri,” kata Kurtubi.

Menurutnya, sangat logis bila orang curiga ada “hengky pengky” antara operator SPBU asing dengan pembuat kebijakan. “Apa artinya bayar sekian miliar, sekian ratus miliar untuk bisnis yang sedemikian besar. Tetapi saat ini saya memang tidak punya bukti apakah kebijakan menguntungkan dia (asing),” ucapnya.